BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Yogyakarta
merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang di dalamnya memiliki berbagai
peninggalan sejarah. Di provinsi ini pernah berdiri kerajaan Mataram Islam yang
jejak peninggalannya masih bisa disaksikan sampai hari ini. Dalam catatan
sejarah, Kasultanan Mataram Islam berdiri pertama kali di kawasan Kota Gede dan
kemudian berpindah ke daerah Pleret, Bantul. Keraton baru di Pleret ini disebut
Kartapura atau disingkat menjadi Kerta (Kerto).[1]
Menurut de Graaf, berpindahnya
ibukota tersebut dilatarbelakangi oleh adanya pemberontakan. Sebelum ibukota
Kerajaan Mataram pindah ke Kerto, tepatnya pada masa pemerintahan Pangeran Seda
Ing Krapyak, terjadi pemberontakan yang mengakibatkan politik Kerajaan Mataram
menjadi tidak stabil. Pemberontakan tersebut dilakukan oleh Pangeran Puger[2]
pada tahun 1602-1605 M dan Pangeran Jayaraga[3] di
Ponorogo pada tahun 1608 M.
Saat ini di kawasan Pleret terdapat
dua buah batu umpak yang diyakini sebagai peninggalan Keraton Kerajaan Mataram
pada masa Sultan Agung. Dua buah batu umpak tersebut merupakan penyangga tiyang
keraton Mataram Islam. Di samping itu juga terdapat makam kiai Kategan yang
letaknya tidak jauh dari batu umpak tersebut. Hal ini semakin menguatkan
tentang pernah berdirinya keraton Mataram Islam di kawasan tersebut.
Penelitian ini mencoba untuk
menggali sejarah Situs Kerto yang belum banyak diketahui oleh masyarakat luas
khususnya para peminat sejarah Islam Nusantara. Dengan penelitian ini
diharapkan akan menambah pengetahuan dan wawasan tentang studi sejarah Islam
dengan pendekatan arkeologi.
B.
Rumusan
Masalah
Permasalahan
yang dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
sejarah Situs Kerto?
2. Apa
saja bukti arkeologis keberadaan keraton Mataram Islam di Pleret?
C.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan
a. Menjelaskan sejarah Mataram Islam berdasarkan bukti-bukti arkeologis
yang terdapat dalam peninggalan arkeologis di kawasan Kerto, Pleret, Bantul.
b. mendiskripsikan relevansi dan sumbangan budaya Melayu masa lalu terhadap
pembentukan karakter masyarakat pendukungnya.
c. mendiskripsikan bentuk-bentuk interaksi antara budaya Islam dengan
budaya lokal yang menjadi pembentuk karakter masyarakat Melayu
2. Kegunaan
a. Hasil dari penelitian ini secara teoritis berguna untuk membuktikan dan mempertajam konsep atau pemahaman bahwa pendekatan
arkeologi dapat digunakan
sebagai sumber dalam mengungkap sejarah masa lampau.
b. Secara
praktis, penelitian ini berguna untuk memahami sejarah Mataram
Islam masa lampau sebagai bekal
pembentukan kesadaran sejarah bagi masyarakat Yogyakarta khususnya
yang tinggal di kawasan situs Kerto.
D. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan
pendekatan arkeologis dengan mengidentifikasi berbagai bukti peninggalan
Mataram Islam yang terdapat di kawasan Situs Kerto. Berbagai peninggalan
tersebut diidentifikasi dan dikaitkan dengan berbagai studi arkeologi yang
pernah dilakukan. Selanjutnya, data tersebut ditafsirkan berdasarkan catatan
sejarah yang ada. Untuk memperkuat data tersebut, dalam penelitian ini juga
dilakukan wawancara dengan beberapa warga dan tokoh setempat untuk menggali
informasi sejarah yang terekam dalam situs-situs tersebut.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Situs Kerto
Masa
pemerintahan Sultan Agung selain diwarnai oleh peristiwa-peristiwa politik,
juga ditandai dengan pembagunan fisik ibukota kerajaan dan pelengkapnya. Pada tahun 1618 M Sultan Agung berkeraton di
Kerto, pada tahun 1620 M mendirikan prabayaksa,[4]
dan pada tahun 1625 M Keraton Kerto diberi sitihinggil.[5]
Dalam Babad Sengkala sebagaimana
dikutip oleh de Graaf memberitakan bahwa pada tahun 1625 M Paseban Karta Sura Sitihinggil yang berarti bahwa keraton
dilengkapi dengan sitihinggil,
dikutip juga dari berita Laporan Umum Belanda (Generale Missive) pada tanggal 13 Desember 1626 M. Sultan Agung
menarik banyak orang dari segala penjuru dan mereka dikerahkan untuk membuat sitihinggil, sehingga pada tahun
1625-1626 M keraton mengalami perluasan wilayah.[6]
Pada tahun 1637 M dibangun sebuah
kolam di halaman istana yang digunakan sebagai tempat mandi permaisuri dan para
selir raja. Kolam tersebut berukuran panjang dan lebar sejauh satu tembakan
senapan (±100 m), dan dalamnya 3 vadem
(1vadem: 1,88 m).[7]
Selanjutnya, pada tahun 1638 M Sultan Agung membuat bendungan Sungai Opak yang
berfungsi sebagai irigasi pertanian. Pada tahun 1643 M dibangun Danau Segarayasa yang tidak jauh dari
bendungan Sungai Opak yang digunakan sebagai tempat latihan militer prajurit
Mataram.
Sultan
Agung juga membangun dua tempat pemakaman, yaitu makam Girilaya[8] pada tahun 1644 M dan makam Imogiri[9] pada tahun 1645 M. Kedua makam tersebut
dibangun di atas bukit mengikuti tradisi pra Islam yang bertujuan untuk
memuliakan arwah para leluhur.
Menurut de Graaf, upaya pembangunan yang
dilakukan oleh Sultan Agung seperti pembangunan makam dan keraton yang megah
bertujuan untuk memulihkan kewibawaan Mataram yang gagal menjadikan Batavia[10]
sebagai wilayah kekuasaannya.[11]
B.
Sisa
peninggalan arkeologis dalam kawasan Keraton Kerto
Sejarah
mencatat pada masa Sultan Agung Mataram meraih puncak kejayaannya.[12]
Seperti yang dijelaskan di atas Sultan Agung banyak melakukan pembagunan fisik
ibukota kerajaan dan pelengkapnya di Kerto. Dari beberapa pembangunan yang
dilakukan Sultan Agung tersebut, hanya tinggal beberapa yang masih bertahan
hingga saat ini, antara lain:[13]
1. Siti
Hinggil
Keraton Mataram
Dari
analisis data yang telah ditemukan selama ekskavasi Dinas Kebudayaan DIY.
Lokasi yang sekarang telah dijadikan sebagai cagar budaya di duga sebagai bekas
siti hinggil Keraton Kerto. Hal ini
diperkuat dengan adanya data toponim dan data lingkungan. Data toponim yang
terkait dengan keberadaan siti hinggil
adalah toponim lemah dhuwur merupakan bahasa Jawa Ngoko yang artinya
(tanah yang tinggi), atau dalam bahasa Jawa Krama adalah siti hinggil. Dengan adanya dua istilah antara lemah dhuwur dan siti hinggil
untuk menyebut nama lokasi yang sama dan sudah ada sejak zaman dahulu sehingga
memperkuat dalam analisis.
Gambar
I. Prasasti Cagar Budaya Situs Kerto DIY
Dari
data lingkungan dapat dilihat dari beberapa variable sumberdaya lingkungan yang
ada di sekitarnya yang meliputi litologi[14]
dan topografi, berdasarkan pada kondisi litologi yang tersingkap pada dinding
lubang pengalian penambangan batu bata, dapat diketahui bahwa lokasi siti hinggil merupakan lahan yang secara
artifisial ditinggikan setinggi 1-1,5 meter. Pada singkapan tersebut terekam
bahwa materi yang digunakan untuk meninggilkan struktur siti hinggil adalah lempung pasiran, sedangkan kondisi batuan dasar
asli (litologi) di daerah tersebut adalah endapan alluvial pasir vulkanik dari
Gunung Merapi.[15]
Selain itu, juga
terdapat dua buah batu umpak (saka guru) yang berukuran cukup besar, yaitu
permukaannya berukuran 70 cm Χ 70 cm, bagian alasnya berukuran 85 cm Χ 85 cm,
dan tingginya 67 cm yang dipercaya sebagai penyangga tiang pendopo. Batu umpak
tersebut berbahan batu andesit yang berbentuk limas terpancung, pada keempat
sisinya dipahat berbentuk daun yang distilir sederhana. Batu umpak ini
dahulunya berjumlah (empat) buah namun saat ini tinggal 2 buah. Satu umpak
dibawa ke Masjid Saka Tunggal Taman Sari pada tahun 1970-an, satu umpak
berdasarkan keterangan dari masyarakat berada di Dusun Trayeman.[16]
Gambar II. Salah satu umpak yang ada di
situs kerto. (tanggal 06 Oktober 2013).
Gambar
I. Masjid Taqqarub Kanggotan yang di duga sebagai Masjid Agung Keraton Kerto.
Kondisi sudah tidak asli. (Tanggal 06 Oktober 2013).
2. Masjid Agung Keraton Kerto
Distribusi
peninggalan arkeologis yang ada dalam kawasan Keraton Kerto menunjukkan bahwa
fasilitas yang ada didalamnya tidak jauh berbeda dengan fasilitas keraton pada
masa sebelumnya (Keraton Kotagede) dan keraton sesudahnya (Keraton Pleret),
fasilitas yang dimaksud disini adalah keberadaan masjid agung keraton. Masjid
Taqqarub yang berada di sebelah barat laut situs Kerto diyakini sebagai Masjid
Agung Keraton Kerto. Hal ini didasarkan dari hasil ekskavasi dan analisis dari
Dinas Kebudayaan DIY yang menyatakan bahwa Masjid Agung keraton pada tata ruang
keraton Islam umumnya terletak di sebelah barat keraton dan alun-alun. Selain
itu berdasarkan cerita masyarakat setempat diperoleh informasi mengenai
arsitektur masjid pada masa lampau dengan adanya jagang[17] masjid,
beberapa kayu berukiran yang diduga merupakan prasasti, dan adanya pohon kepel
di sekitar masjid. Namun, kondisi masjid ini sudah tidak asli baik jagang, dan
kayu berukiran tersebut saat ini sudah tidak ditemukan lagi keberadaannya,
karena sudah di rehabilitasi oleh masyarakat setempat.[18]
Selain
itu, di sebelah barat Masjid Taqqarub terdapat makam kuno. Masyarakat sekitar
menyebutnya makam Kyai Kategan (salah satu ulama besar pada zaman Sultan Agung)
yang dipercaya sebagai imam besar Masjid Taqqarub pada masa Keraton Kerto. Hal
ini juga sama dengan berita de Graff
bahwa orang-orang barat yang pertama kali mengunjugi Keraton Kerto
melihat kehadiran seorang Islam terkemuka, yaitu penasehat keraton sekaligus
imam tertingi yang bernama Kalifagypan.[19]
Diduga nama “kyai Kategan” (sebutan oleh masyarakat) dan “Kalifagypan” (sebutan oleh orang barat) merupakan sebutan untuk
seorang tokoh yang sama. Hal ini semakin menguatkan interpretasi Dinas
Kebudayaan DIY bahwa Masjid Taqqarub adalah Masjid Agung Keraton Kerto dengan
bukti adanya makam Kyai Kategan.
Pada
nisan kuno makam Kyai Kategan terdapat inskripsi
beraksara Jawa yang belum sempat diteliti lebih mendalam oleh Dinas
Kebudayaan DIY. Namun, Jika dilihat dari tembok keliling makam Kyai Kategan
yang terbuat dari bahan batubata dan batu putih dengan bentuk dan ukuran yang
mirip dengan struktur yang ditemukan di toponim Lemah Dhuwur dapat diperkirakan bahwa kompleks makam dan Masjid
Taqqarub memliki usia yang sejaman dengan masa digunakannya Keraton Kerto.[20]
Gambar III. Makam Kyai Kategan yang ada
di belakang Masjid Taqqarub. (Tangal 06 Oktober 2013)
3. Kompleks Keraton Kerto
Area
permukiman di sebelah selatan toponim Lemah Dhuwur pada Dusun Kerto selatan,
diperkirakan sebagai kompleks Keraton Kerto. Sebagian penduduk (sesepuh
masyarakat) setempat masih mempercayai bahwa di lokasi ini merupakan bekas
kompleks Keraton Kerto. Survey permukaan yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaa
DIY berhasil menemukan beberapa potensi arkeologis berupa: sisa struktur
boulder andesit, sebaran sisa struktur batu putih, sebaran sisa struktur batu
andesit, fitur bekas kolam, fragmen keramik asing serta gerabah, batubata
lengkung bekas struktur sumur, dan lain-lain.
Dusun
Kerto selatan juga terdapat toponim yang dipercaya oleh masyarakat setempat
sebagai bekas pancang gajah Sultan Agung. Jika hal tersebut
benar maka rumah tinggal raja (Bangsal Kencono) dapat dicari di antara
kandang gajah tersebut.[21]
4. Jagang Baluwarti Keraton Kerto
Cekungan
di sebelah timur situs yang membujur utara-selatan dan saat ini dimanfaatkan
sebagai area persawahan diperkirakan oleh Dinas Kebudayaan DIY sebagai bekas
jagang[22]
cepuri[23]
di sisi timur Keraton Kerto. Jagang tersebut dibagun dengan memperdalam lokasi
sehingga membentuk seperti sebuah terusan dan bermuara pada Sungai Opak di
sebelah selatan situs Kerto. Adapun Sungai Gajahwong yang berada di sebelah
barat situs Kerto diperkirakan sebagai bekas Jagang Cepuri sisi barat dan selatan
Keraton Kerto.
Jagang
di sisi barat dan sisi selatan dibangun dengan memanfaatkan karakter kondisi
alam yang telah tersedia. Hal yang sama juga ditemukan pada Keraton Kotagede
yang memanfaatkan Sungai Gajahwong sebagai jagang Baluwarti sisi barat dan Keraton
Pleret yang memanfaatkan Sungai Opak sebagai Jagang Cepuri sisi timur dan sisi
selatan. Namun, dalam penelitian Dinas Kebudayaan DIY belum dapat menemukan
keberadaan jagang di sisi utara kompleks Keraton Kerto.
Bukti-bukti
pola distribusi sisa peninggalan tersebut menunjukkan pola seperti kawasan
keraton Islam pada umumnya. Hal ini memunculkan penafsiran bahwa pola
distribusi fasilitas yang ada di kawasan keraton tidak jauh beda dengan keraton
Kerajaan Mataram lainnya.[24]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
hasil penelitian yang telah disampaikan di atas dapat disimpulkan bahwa situs
Kerto mempunyai jalan sejarah yang panjang. Situs ini berdiri pada tahun 1618
M, ketika Sultan Agung mendirikan keraton di Kerto. Sejak saat itulah, wilayah
Kerto mempunyai peran yang sangat penting bagi catatan sejarah nasional
Indonesia. Oleh karena itu, dengan penelitian ini setidaknya kita menjadi ingat
ternyata wilayah yang kini kita anggap biasa saja namun dalam kenyataannya
mempunyai catatan sejarah yang luar biasa.
Sejauh
ini, bukti peninggalan yang ada dilapangan (baca: situs Kerto) yaitu berupa
beberapa prasasti, umpak, Masjid (yang diduga/hipotesa), makan seorang ulama
bernama Kyai Kategan yang diduga penyebar Islam pada masa itu dan beberapa
bukti lain. Bukti itulah yang dapat peneliti jumpai di situs Kerto tersebut.
[1] Suban Tarjo, Sultan Agung
Hanyokrokusumo (Proyek Biografi Pahlawan Nasional Departemen Pendidikan dan
Kebudayaaan, 1976), hlm. 125.
[2]Pangeran Puger merupakan putra kedua Senapati dari seorang selir
yang bernama Nyai Adisara semasa kanak-kanak bernama Raden Mas Kentol Kajoran.
Sebagai putra ke dua Senopati ia menganggap dirinya lebih berhak atas tahta
dari pada adiknya Raden Mas Jolang
(Panembahan Seda Ing Krapyak). Sehingga setelah Pangeran Puger diangkat menjadi
bupati Demak, lama-kelaman bupati Demak kehilangan rasa hormatnya terhadap raja
Mataram dan melakukan pemberontakan untuk mengambil kekuasaan Mataram, namun
pemberontakan itu dapat diatasi oleh Panembahan Seda Ing Krapyak. Selengkapnya
baca de. Graaf, Puncak Kekuasaaan Mataram,
hlm. 3-9.
[3]Pangeran Jayaraga adalah putra kesembilan Senopati. Ibunya merupakan
selir dari Kajoran, masa mudanya bernama Raden Mas Betotot (seseorang yang
dilahirkan dengan susah payah). Pangeran Jayaraga adalah wedana Ponorogo yang
membawai empat bupati, lambat laun Pangeran Jayaraga lupa dengan Mataram karena
kehidupannya yang berlimpah-limpah ia menobatkan dirinya sendiri sebagai
raja dan merebut Mataram, namun upayanya
tidak berhasil sehingga akibat dari perbuatannya itu raja Mataram memindahkan
Pangeran Jayaraga ke Masjid Batu di Pulau Nusa Kambangan. Selengkapnya baca de
Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram, hlm.
9-13.
[4]Prabayaksa merupakan bangunan inti dari keraton dan dipandang sebagai bagian
yang paling sakral atau rumah kediaman raja yang dilengkapi dengan pendapa
(Inajati, Arkeologi Perkotaan Mataram
Islam, hlm. 272).
[5]Sitihinggil berarti tanah (siti) yang di timbun menjadi tinggi (hinggil)
seperti halnya dengan sebuah gunung. Tampaknya sitihinggil ini digunakan sebagai pengadilan raja, karena ketika
raja duduk di sitihinggil ini hanya khusus untuk menjalankan pengadilan
terhadap rakyatnya. Akan tetapi ia harus
maha adil seperti dewa atau Tuhan yang maha-adil. Karena itu Sultan Agung harus
mempersatukan jiwanya dengan dewa atau Tuhan. Bahkan menurut keteragan kalangan
keraton, sebelum raja menjalankan pengadilannya di sitihinggil harus terlebih dahulu bersamadhi memurnikan jiwanya
dari tempat duduknya di sitihinggil
Sultan Agung memusatkan jiwa dan pikirannya pada titik lurus yang berada
diantara dua buah waringin kurung di tengah alun-alun yang nantinya akan
melihat orang yang sedang pepe (berjemur) yang berarti ada dari rakyatnya yang
meminta keadilan dari raja. Selengkapnya baca Purwadi, Sejarah Sultan Agung Harmoni Antara Agama dengan Negara, hlm. 79.
[6]de Graaf, Puncak Kekuasaan
Mataram, hlm. 112.
[8]Pada tahun 1629-1620 M, mulai dibangun pemakaman di atas bukit Girilaya dengan pengawas Panembahan Juminah yang kemudian
meniggal dan dimakamkan di tempat tersebut. Bukit Girilaya memiliki ketinggian 80 m dari permukaan laut yang terletak
di Dusun Girilaya, Kec. Imogori, Kab.
Bantul. Berjarak 10 km di selatan Kotagede. Selengkapnya baca Inajati Adisijanti Arkeologi Perkotaan Islam,
hlm. 60.
[9] Mengenai kegiatan pembuatan makam Imogiri lihat de Graaf, Puncak
Kekuasaan Mataram, hlm. 299-300. Lihat juga M. C. Ricklef, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 1998), hlm. 72.
[10]Pada tahun 1628 M, Mataram melakukan pengepungan ke Batavia yang
dipimpin oleh Tumenggung Baurekso dari Tegal dengan jumlah prajurit antara
48.000 sampai 100.000 orang. Pada tanggal 12 September 1628 prajurit Mataram
menyerang benteng Hollandia, semalam
penuh mereka berusaha menjebol bangunan pertahanan Belanda dengan cara
mendobraknya dengan kayu-kayu balok. Tetapi 24 serdadu Belanda
mempertahankannya dengan gigih, sampai pelurunya habis. Perang yang hebat ini
mengakibatkan 200 prajurit Mataram gugur termasuk Tumenggung Baurekso dan
putranya, kemudian disusul oleh panglima yang baru bernama Tumenggung Agul-Agul
dan kedua bersaudaranya Kyai Mandurareja dan Upa Santa. Setelah Tumengung
Mandurareja menabuh isyarat maju perang terjadilah pertempuran yang sangat
sengit, pertempuran ini hampir mengalahkan pihak Belanda namun setelah
dilancarkan tembakan meriam dari dua kapal pantai dan dari tembok-tembok kota,
serbuan hebat Mataram dapat di hentikan dan akhirnya Mataram gagal merebut
Batavia. Pengepungan Batavia kedua dilakukan pada tahun 1629 M. Selengkapnya
baca de. Graaf, hlm. 150-153.
[11] Simuh, Islam dan Pergumulan
Budaya Jawa (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 82.
[12] Darmawijaya, Kesultanan Islam
Nusantara (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), hlm. 71.
[13]Dinas Kebudayaan, Laporan
Ekskavasi Penyelamatan dan Pendokumentasian Situs Kerto (Dinas Kebudayaan
Provinsi DIY, 2007), hlm. 210.
[14] Litologi adalah ilmu
tentang batu-batuan yang berkenaan dengan sifat fisik, kimia dan strukturnya
[15] Dinas Kebudayaan DIY, Laporan
Penyelamayan dan Pendokumentasian Situs Kerto, hlm. 212.
[16]Wawancara dengan Muzamil (salah satu pemilik lahan lemah dhuwur), 09 Juni 2013.
[18]Dinas Kebudayaan DIY, Laporan
Ekskavasi Penyelamatan dan Pendokumentasian Situs Kerto, hlm. 213.
[19]de Graff, Puncak Kekuasaan
Mataram, hlm. 106.
[20]Dinas Kebudayaan DIY, Laporan
Ekskavasi Penyelamatan dan Pendokumentasian Situs Kerto, hlm. 213-214.
[21]Dinas Kebudayaan DIY, Laporan
Ekskavasi Penyelamatan dan Pendokumentasian Situs Kerto, hlm.215.
[22] Jagang: Parit yang mengelilingi benteng, (Inajati, Arkeologi Perkotaan Mataram Islam), hlm.
271,
[23] Cepuri: Benteng dalam yang mengelilingi keraton, (Inajati, Arkeologi Perkotaan Mataram Islam), hlm.
271.
[24] Dinas Kebudayaan DIY, Laporan Ekskavasi
Penyelamatan dan Pendokumentasianm Situs Kerto, hlm. 215.
0 comments:
Post a Comment