Semua Hall-Hall Seru

WELCOME

KAJIAN TEMATIK GERAKAN SOSIAL-POLITIK ISLAM DI INDONESIA

A.      Identitas buku
1.             Buku Utama
Judul Buku                    : Pemberontakan Petani Banten 1888
Penulis                           : Sartono Kartodirdjo
Penerbit                         : P.T. Dunia Pustaka Jaya
Kota Terbit                    : Jakarta
Tahun Terbit                  : 1984
Jumlah Halaman            : 511 halaman
2.             Buku Pembanding
Judul Buku                    : Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912
Penulis                           : Ibrahim Alfian
Penerbit                         : Pustaka Sinar Harapan
Kota terbit                     : Jakarta
Tahun Terbit                  : 1987
Jumlah Halaman            : 282 halaman

B.       Pendahuluan
Sartono Kartodirdjo dalam buku Pemberontakan Petani Banten 1888 mengulas tentang pemberontakan petani  di Banten yang tidak menginginkan sistem mordenisasi. Dengan dibantu olah para bangsawan dan golongan elit agama petani melakukan pemberontakan terhadap adanya kebudayaan Barat. Tetapi dalam prakteknya para petani justru bersifat pasif dan hanya dijadikan sebagai alat oleh para bangsawan dan elit agama untuk memberontak agar tetap berpegang pada kesultanan atau sistem tradisional. Buku tulisan Kartodirdjo ini merupakan bentuk terjemahan dari buku asli yang berjudul The Peasents’ Revolt of Banten in 1888.  Pemberontakan yang terjadi di ujung barat laut pulau Jawa tepatnya di distrik Anyer merupakan salah satu  pemberontakan  yang terjadi di Banten selama abad XIX. Pemberontakan ini berlangsung secara singkat antara tanggal 9-30 Juli 1888.  Hal ini juga merupakan satu bentuk ledakan sosial yang melanda seluruh wilayah pulau Jawa pada waktu itu. Ledakan sosial ini juga diwarnai dengan adanya gerakan-gerakan mileneri serta gerakan kebangkitan kembali agama dengan wajah membentuk sekolah-sekolah agama dan perkumpulan mistik agama.
Buku kedua adalah Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912, karya Ibrahim Alfian. Buku ini menarik, karena beberapa alasan sebagai berikut: Pertama, cukup mewakili tema historiografi yang hidup di Indonesia tahun 1980-an yang kental dengan nuansa perlawanan lokal dengan perang-perangnya. Kedua, berbeda dengan sejarah perang yang selalu membicarakan strategi mengalahkan lawan, buku ini ingin menjawab kekuatan yang mendorong orang Aceh tetap terus berperang melawan kekuatan asing. Alfian tidak memfokuskan kepada latar belakang persaingan politik ekonomi yang menimbulkan Atjeh-oorlog (Perang Aceh) serta kelemahan struktur kesultanan Aceh dalam menghadapu ujian dari pihak luar, akan tetapi mencari sesuatu dibalik tindakan orang Aceh dalam aksi perang yang berlangsung lebih dari tiga dasawarsa.

C.      Pembahasan
(1)          Buku Utama : Pemberontakan Petani Banten 1888
1.        Review
Buku Pemberontakan Petani Banten 1888 terdiri dari sepuluh bab. Pada bab pertama merupakan pengantar. Dalam pengantar tersebut berisi tentang: pokok pembahasan, orientasi historis, tujuan penelitian, lingkup dan tujuan studi, bahan sumber, rangkuman masalah, dan metodologi
Bab kedua membahas tentang latar belakang sosio-ekonomis Banten. Di Banten yang letaknya agraris membuat masyarakatnya mayoritas sebagai petani padi. Kesultanan Banten berdiri pada tahun 1520 oleh pendatang-pendatang dari kerajaan Demak di Jawa Tengah. Fungsi sultan adalah memberikan perlindungan sehingga sultan menguasai perokonomian, mobilisasi produksi sebagai penujang rumah tangganya, keluarganya serta pejabat-pejabat negara. Kemudian kasultanan dihapuskan oleh pemerintah Dendels, yang meliputi daerah pesisir utara  serta wilayah-wilayah lain terdiri dari daerah pegunungan Banten, bagian barat Bogor dan Jakarta, dan juga Lampung di Sumatera bagian Selatan.  
Abad XIX merupakan periode dimana Indonesia mengalami pergolakan-pergolakan sosial yang mengakibatkan perubahan sosial akibat masuknya kebudayaan Barat. Kebudayaan Barat menciptakan peraturan-peraturan, yaitu dengan diberlakukannya sistem uang, memunculkan buruh upah, adanya administrasi yang terpusat, perpajakan yang seragam, serta adanya sarana-sarana komunikasi yang lebih modern. Dari sinilah muncul rasa ketidak adilan serta frustasi oleh masyarakat khususnya para petani yang tidak menginginkan diadakanya pajak. Di daerah-daerah, agama mempunyai peranan yang sangat penting, akhirnya para petani mengemukakan gagasan-gagasannya kepada para pemuka agama dengan maksud pemuka agama melancarkan gagasan-gagasannya itu.
Dalam pemberontakan petani anggotanya tidak semata-mata hanya terdiri dari kaum petani saja, pemberontakan ini dipimpin oleh para kaum elit pedesaan seperti pemuka agama, anggota-anggota kaum ningrat, atau orang-orang yang termasuk kalangan terhormat. Dalam arti yang terbatas pemberontakan yang terjadi pada abad XIX di Indonesia dapat dikatakan sebagai pemberontakan petani yang murni, pemimpin-pemimpinya merupakan satu golongan elit yang mengembangkan dan menyebarkan ramalan-ramalan serta visi sejarah yang sudah turun-temurun mengenai akan  datangnya ratu adil dan mahdi dalam. Pemuka-pemuka agamalah yang telah memberikan kepopuleran kepada ramalan-ramalan tersebut dan menerjemahkanya kedalam perbuatan dengan maksud menarik massa rakyat untuk memberontak, anggota-anggota pergerakan tersebut terdiri dari petani, yang dipimpin oleh guru agama atau pemimpin mistik. Akan tetapi para kaum elit pedesaan tidaklah mempunyai pengetahuan tentang politik yang sangat kuat, dan hanya mengandalkan ramalan-ramalan saja tidak membuat pemberontakan berjalan dengan lama.
Pada umumnya peranan kaum petani tidaklah sangat kuat dalam pemberontakan Banten, mereka hanyalah bersikap pasif. Dalam pemberontakanya petani meberikan tekanan yang besar kepada susunan lembaga-lembaga pemerintah pada umumnya dan kepada soal pembuatan undang-undang dan pelaksanaanya, dan jarang berbuat yang melampaui tingkat struktur-struktur formal. Sejarah kaum petani di Indonesia dalam historiografi kolonial meperlihatkan sifat mereka yang datar dan seragam, namun ia mengandung arus-arus yang mengalir terus-menerus sampai zaman modern.
Dalam menghadapi disintegrasi sosial, kaum aristokrasi tradisional dan kaum petani masih berpegang pada sistem tradisional. Dalam banyak hal mereka bekerja sama untuk melawan penetrasi sistem Barat. Berbeda dengan kaum elit agama yang gerakan politiknya diperketat  oleh Belanda membuat kaum elit agama mengalami perasaan tersingkirkan. Akhirnya kaum elit agama bergabung dengan aristokasi tradisional dan para petani yang masih berpegang pada sistem tradisional. Munculnya golongan baru ini dapat diidentifikasikan aristokrasi moderen yang terdiri dari pegawai negeri dan birokrat. Golongan ini mengajurkan pada mordenisasi akan tetapi golongan lama tetap berpegang pada sistem tradisional. Akhirnya terjadi pertentangan antara golongan lama dan golongan baru.
Munculnya kekuatan Belanda dalam sistem politik Banten membuat situasi semakin tidak terkendali. Hal ini yang akan dibahas dalam Bab III. Seiring dengan adanya pemberontakan-pemberontakan yang silih berganti. Pemerintahan kolonial membentuk satu sistem birokrasi yang memaksakan peraturan-peraturan yang tidak sah kepada rakyat. Setelah kaum bangsawan mengalami kemerosotan dan kemiskinan membuat elit agama menjadi berperan penting dalam memberontak pemerintahan kolonial untuk tetap berpegang pada tradisional. Pemimpin-pemimpin agama mengadakan mobilisasi kaum tani juga menunjukan kegiatan Agitasi terhadap elit baru dan penguasa-penguasa kolonial. Mereka menggunakan gerakan-gerakan yang radikal dan milenari, akan tetapi elit baru justru ingin ikut arus mordenisasi yang diciptakan oleh pemerintahan kolonial.
Dalam Bab IV diulas tentang runtuhnya kesultanan membuat Banten mengalami pergolakan sosial yang sudah sangat parah. Ketidakadanya suatu kekuatan membuat sistem tatanan di Banten menjadi carut marut. Nilai-nilai tradisional selalu bertabrakan dengan nilai-nilai moderen. Kekuatan pemerintah kolonial yang kuat di Banten tidak membuat rakyat hormat dan tunduk pada pemerintakan kolonial. Munculnya tindakan-tindakan kriminal seperti; perampokan, pembegalan, pencurian serta tindakan-tindakan lain yang melanggar hukum membuat pejabat-pejabat lokal tidak bisa menjaga dan mengatur keadaan di daerah-daerah pedesaan. kerusuhan-kerusuhan itu juga didukung oleh administrasi lokal yang memburuk, ketidak berdayaan polisi serta adanya dukungan oleh rakyat jelata.
Keadaan yang terjadi di Banten pada abad XIX tidak saja dianggap sebagai pergolakan sosial yang mengubah tatanan kehidupan tetapi juga sebagai tempat munculnya kebangkitan agama, hal ini yang akan diulas pada Bab V. Dijelaskan bangkitnya kembali agama, selama pertengahan abad XIX terjadi kenaikan jumlah orang yang naik haji.Karena adanya pencerahan dari orang-orang yang berdakwah di daerah-daerah, munculnya tarekat-tarekat islam, dan berkembangnya pesantren. Gerakan-gerakan ini merupakan upaya untuk mendapatkan simpati serta dukungan dari rakyat. Anggota-anggota tarekat inilah yang akan dijadikan sebagai kelompok revolusioner yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan kolonial.
Tahun 1880-an mulai bermunculannya semangat ikut fanatisme agama yang menunjukan sikap agresif terhadap orang-orang Belanda. Hal ini membuat kekhawatiran Belanda terhadap fanatisme yang menggangap orang-orang Belanda sebagai orang kafir dan membuat Belanda tidak lagi percaya pada pejabat-pejabat Bantan.
Di dalam masyarakat Banten kiyai memiliki pesona-pesona kewibawaan serta menjadi pemimpin-pemimpin yang alami. Masyarakat Banten yang terkesima memberikan kehormatan, sumbanga, mendukung serta mematuhi kiyai yang berjuang dengan tujuan yang suci, memberantas orang-orang kafir dan menginginkan sistem tatanan tradisional.
Dalam Bab VI dijelaskan tentang persiapan-persiapan untuk melancarkan pemberontakan. Setelah mendirikan pesantren, tarekat serta berdakwah-dakwah para ulama mengobarkan konsep pemberontakan dengan perang jahil. Tarekat-tarekat dijadikan sebagai alat untuk menyebarkan informasi-informasi rahasia dan komunikasi antara komplotan-komplotannya tanpa di ketahui oleh pejabat-pejabat daerah. Tarekat juga digunakan sebagai tempat untuk berkumpul melakukan zikir, sholat yang kemudian mempertemukan kiyai sebagai pemimpin dalam revolusioner. Mereka membahas tentang berbagai strategi-strategi kampanye untuk memberontak pemerintah Belanda.Pemimpin-pemimpin gerakan revolusioner antara lain ; Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, Haji Wasid, serta masih banyak lagi yang lainnya. Pada tahun 1884 gagasan untuk memberontak pemerintah Belanda sudah matang, para pemimpin-pemimpinnya sudah tidak sabar lagi untuk melancarkn aksinya tersebut. Para guru tarekat bertugas untuk mencari murit-muritnya untuk dijadikan pengikut. Gerakan-gerakan ini selalu sibuk mengadakan perkumpulan-perkumpulan yang membahas tentang strategi pemberontakan. Kecemasan pemerintah Belanda mulai timbul akibat tumbuh pesatnya gerkan yang menyatu dengan kehidupan agama rakyat.
Dalam Bab VII melukiskan pemberontakan di Banten, pemberontakan meletus pertama kali pada malam hari tanggal 9 Juli 1888. Pemberontakan pertama diadakan di Cilegon yang dipimpin oleh Haji Tubagus Ismail dan pemimpin-pemimpin terkemuka lainnya. Pemberontakan di susul dengan serangan terhadap Serang. Cilegon merupakan tempat tinggal pejabat-pejabat pamongpraja, Eropa dan pribumi yakni, asisten residen, kontrolir muda, patih, wedana, jaksa, asisten wedana, ajun kolektor, kepala penjualan garam dan pejabat-pejabat lainnya dari tingkat bawah birokrasi kolonial. Dalam bab ini pemberontakan ini terjadi banyak pertumpahan darah telah dijelaskan secara lengkap dari dimulainya pemberontakan hingga tertangkapnya para pemimpin-pemimpin pemberontakan. Di dalam Bab VIII, Sartono menjelaskan penumpasan pemberontakan yang dimulai dari pembasan tentang pertempuran Toyomerto pada 9 Juli sampai dutewaskannya pemimpin-pemimpin pemberontak dan pengikut-pengikut mereka di dekat sumur pada tanggal 30 Juli.
Pada bab IX Sartono menelaah bekas-bekas yang ditinggalkan dalam pemberontakan Banten 1888, serta pengaruhnya terhadap pemerintahan Belanda dalam tahun-tahun berikutnya. Bab X merupakan bab penutup, dan diteruskan dengan lampiran-lampiran yang berkenaan dengan pemberontakan Petani Banten.
2.      Pendekatan Penelitian
Selain menggunakan pendekatan sosio-historis, di dalam studi ini Sartono menggunakan pendekatan Faktor sebagai pelengkap analisa proses, yang membedakan tahap-tahap perkembangan menurut urutannya.  Metodologi ini didasarkan pada prinsip tentang perlunya memandang suatu gerakan sosial seperti gerakan ini dari perspektif waktu dan perkembangan, sebelum dapat diadakan perbandingan sistematik atau analisa teoritik. Analisa terakhir bertujuan untuk menyoroti konfigurasi-konfigurasi dan memperbesar dimens-dimensi gerakan. Dalam menulis Sartono menggunakan metode analisis-history. Dia menulis ecara kronologis, yaitu dari latar belakang sosial ekonomis, politik, dan agama, kemudian menjelaskan awal gerakan pemberontakan sampai akhir pemberontakan.
3.      Sumber
Dalam menulis buku ini, Sartono menggunakan sumber-sumber penting, berupa arsip-arsip dan surat kabar bahasa Belanda, dokumen-dokumen dari Kementrian Urusan Jajahan, dan buku-buku bahasa Belanda serta Inggris. Sumber dalam bentuk dokumen itu terdapat catatan tentang kegiatan pejabat-pejabat pemerintah dan opsir-opsir tentara, serta transaksi-transaksi administratif oleh badan-badan pemerintah. Dokumen-dokumen yang Sartono gunakan dan yang paling relevan bagi pemberontakan Petani Banten adalah: laporan Direktur Departemen Dalam Negeri (termasuk lampiran-lampiran).
(2)     Buku Pembanding: Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912
1.      Review
Ibrahim Alfian adalah seorang sejarawan yang telah menyelesaikan gelar Doktor dalam Ilmu Sejarah di UGM tahun 1981, dengan judul disertasinya Perang di Jalan Allah, Aceh 1873-1912. Dalam menulis dan menjelaskan fenomena sejarah tersebut, Ibrahim tidak hanya menitikberatkan pada satu faktor saja dan tidak pula akan disusun suatu faktor yang dianggap saling jalin-menjalin secara dinamis akan ditinjau.
Disertasi yang dikemudian hari dipublikasn dalam sebuah buku dengan judul yang sama terdiri dari 6 bab, yang mana setiap bab memiliki keterkaitan antara satu sama lain.
Bab pertama merupakan pendahuluan. Pada bagian ini Alfian memberikan gambaran umum tentang Perang Aceh atau Perang Sabil (Perang di Jalan Allah). Dengan didahului sebuah ultimatum, pada tahun 1873 Pemerintah Hindia Belanda mengumumkan pernyataan perang terhadap Kerajaan Aceh. Perang yang dilancarkan Belanda terhadap Kerajaan Aceh dianggap oleh pihak Aceh sebagai bahaya yang merusak tata kehidupan masyarakat dan nilai keagamaan. Terlebih lagi ancaman itu datangnya dari orang-orang yang mereka anggap kafir. Agresi belanda ini dihadapi Aceh dengan manifestasi kolektif melalui bentuk perlawanan bersenjata yang merupakan perang yang terutama dalam sejarah kolonial Belanda di Indonesia.
Bab kedua menejelaskan tentang Masyarakat Aceh di Akhir Abad XIX. Menjelang meletusnya perang, kerajaan Aceh terdiri dari: (1) Aceh Besar, yaitu daerah sepanjang sungai Aceh, yang terbagi atas tiga wilayah, disebut sagi, masing-masing sagi diberi nama menurut jumlah mukim yang dipunyainya, yakni Mukim XXII, Mukim XXV, dan Mukim XXVI, (2) Daerah-daerah pantai di luar Aceh Besar, yang merupakan taklukkan Aceh, terletak di pantai barat, pantai utara dan pantai timur dari ujung utara pulau Sumatra, yang terdiri atas negeri-negeri atau kerajaan kecil yang otonom, dan (3) Daerah-daerah Gayo dan Alas yang treletak jauh di pedalaman. Adapun mata pencahariaan yang terpenting bagi orang Aceh adalah pertanian. Peribahasa Aceh berbunyi, “Seumayang pangulee ibadat, meugoe pangulee hareukat,” artinya, sembahyang adalah bagian terpenting dari ibadat, usaha bertani adalah sumber utama mata pencahariaan. Dari segi keyakinan, masyarakat Aceh sebelum perag melawan Belanda sampai dewasa ini banyak percaya kepada praktek-praktek magis. Di samping kepercayaan terhadp roh-roh, yang dalam banyak hal bertentangan dengan ajaran Islam, kepercayaan pada azimat dan mantra-mantra masih besar di kalangan awam.
Bab ketiga menjelaskan kancah peperangan, 1873-1896. Tahun 1873-1875 merupakan masa bertahan bagi rakyat Aceh. Dalam pertempuran ini, rakyat Aceh senantiasa mengucapkan kalimah la ilaha illa’llah (tiada Tuhan selain Allah). Para pasukan Aceh yang ada bertempur dalam kumpulan kecil yang terpisah-pisah dan ada yang dipimpin oleh para uleebalang, yaitu Teuku Imam Lueng Bata. Rakyat Aceh bertahan dari serangan Belanda, dan mampu menguasai dalam atau keraton. Tahun 1876-1896 merupakan masa perang rakyat. Menjelang tahun 1876, rakyat aceh yang dipimpin oleh Uleebalang, menandatangani perjanjian damai dengan Belanda. Salah satu perjanjiannya adalah mengakui raja Belanda, sebagai yang dipertuankan yang sah dan sebagai tandanya, tidak akan mengankat bendera lain, baik di darat maupun di laut, selain dari bendera Belanda. Meskipun perjanjian itu telah ditandatangani, rakyat Aceh terus giat melakukan serangan terhadap Belanda. Hal itu membuat Belanda tidak mampu menjaga keamanan di belakang garis pertahanannya. Perang di antara rakyat Aceh melawan Belanda berlanjut sampai tahun 1893, tahun di mana Teuku Umar bersama 15 orang panglimanya menyatakan kesetiaan mereka kepada Hindia Belanda. Tahun 1896,  Teuku Umar diangkat sebagai uleebalang Leupueng, di sebelah selatan Aceh Besar. Sultan Muhammad Daud tidak setuju terhadap tindakan Teuku Umar. Berdirinya Teuku Umar dibarisan Belanda tidak menggoyahkan rakyat Aceh untuk melawan Belanda.
Bab keempat menjelaskan ideologi Perang Sabil. Bendera perang yang digunakan oleh pasukan Aceh berwarna dasar merah dan diatasnya terdapt gambar sebilah pedang dan sebuah bulatan seperti bulan purnama, berwarna putih. Dalam bulatan pada sudut kanan atas bagian luar bendera ada tulisan yang berbunyi ”Bismi ‘I-Lahi majriha wa mursaha, inna rabbi laghafurun rahim. Nasrun mina ‘I-lahi wa fathun qarib, wa basysyri ‘I-mu minin”, artinya dengan nama Allah diwaktu berlayar dan berlabuh, sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun dan  Maha Penyayang, Pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya) dan sampaikanlah berita kepada orang-orang yang beriman. Di Aceh, uraian tentang Perang Sabil disajikan dalam bentuk hikayat. Di beberapa Hikayat Perang Sabil (HPS) mengemukakan, bahwa ibadat yang utama adalah perang sabil, sampai-sampai lebih diutamakan dari pada ibadat haji.
Bab kelima membahas tentang Ulama yang memobilisasi kekuatan untuk berperang melawan Belanda. Melalui penyebaran ideologi perang Sabil, para ulama berusaha menggugah rakyat menjadi lebih dinamis dalam menghadapi musuh. Strategi yang dijalankan adalah menumbuhkan kemauan keras untuk berperang melawan orang kafir dengan berlandaskan kepada firman Allah dan Sunnah Nabi Saw. Para ulama mempergunakan pusat-pusat pengajian atau dayah sebagai tempat untuk melatih pengikut-pengikut dan untuk menghimpun senjata. Di antara para ulama sekaligus pemimpin pasukan adalah Teuku Chik Di Tiro, Teuku Chik Kutakarang, dan Teuku Papa.
Bab keenam menjelaskan tentang titik balik dalam sejarah perang Belanda di Aceh. Teuku Umar dengan sejumlah pemimpin-pemimpin Aceh meninggalkan Belanda. Bagi pihak Belanda kejadian ini merupakan peristiwa yang sangat menggemparkan. Umar memiliki uang, mesiu, dan alat-alat yang diperolehnya dari Belanda. Sedangkan pasukannya banyak pula mempelajari cara bertempur dari orang Belanda. Alasan Umar meninggalkan Belanda karena dia merasa malu berada di barisan Belanda, terlebih istrinya, Cut Nyak Dien, yang memiliki kebencian terhadap Belanda. Selama peperangan berlangsung, pihak Aceh, bagian Piddie, mengalami pukulan telak dari Belanda tahun 1908. Di antara Teuku-teuku yang syahid adalah T. Hasan Titeu, tangan kanan ulama-ulama Tiro. Selanjutnya bengkel senata Teuku Chik Di Tiro, dapat dirampas oleh Belanda pada September 1912.
Pada bab keenam juga membahas tentang  Aceh Tengah dan Tengggara, ± 1903-1912. Pada tahun 1904, Van Daalen, letnan kolonel Belanda, melakukan hubungan politik dengan raja-raja di Gayo-Alas (Aceh Tengah). Hal ini dilakukan oleh Belanda, karena mereka tidak mampu menguasai dan menaklukkan Aceh Tengah. Keadaan medan Aceh Tengah bergunung-gunung. Pemimpin-pemimpin barisan Muslimin dari Aceh seperti Yeuku Paya Bakong dan Teuku di Barat, jika diserang selalu mengundurkan diri di Aceh Tengah dan membuat tanah gayo sebagai basis mereka. Pihak Aceh Tengah mulai mengalami kemunduran setelah menyerahnya Pang Muda yang mengepalai basrisan Muslimin di Rerobo pada 1911 bulan Februari, disusul  Rojo Cut Pasir pada 1911 bulan April dan diikuti dengan Leube Grondong dan Teuku Muda Kuto Sre pada tahun 1192. Barulah setelah itu tanah Gayo mulai terbuka. Secara bertahap perubahan sosial muali terjadi dengan dibukanya jalan yang dari Takengon berjalan pantai yang menghubungkan Aceh dengan Medan, dan diperkenalkannya sekolah desa, serta di mulainya perkebunan kopi.
2.      Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan oleh Ibrahim Alfian adalah pendekatan agama dan politik. Pendekatan agama terlihat dari ideologi dan sebab atau alasan terjadinya Perang Sabil. Rakyat Aceh melakukan Perang Sabil (Perang di Jalan Allah) karena berperang melawan orang kafir meeupakan ibadat, dengan berlandaskan kepada firman Allah dan Sunnah Nabi Saw. Pendekatan politik terlihat dari usaha pertahanan dan perebutan kekuasaan wilayah Aceh dari kekejaman dan serangan Belanda yang menginginkan Aceh tunduk terhadap pemerintahan Belanda.
3.      Sumber
Sumber-sumber yang digunakan oleh Ibrahim Alfian berupa: manuskrip-manuskrip bahasa Belanda, hikayat-hikayat mengenai Perang Sabil, sumber-sumber primer Belanda yang telah diterbitkan, dan buku-buku yang secara khusus dan umum membahas tentang Aceh.

D.      Kesimpulan
Dua buku di atas merupakan contoh dari karya-karya tentang tema yang membahas gerakan sosial-politik Islam di Indonesia. Buku Pemberontakan Petani Banten 1888 mengulas tentang pemberontakan petani  di Banten yang tidak menginginkan sistem mordenisasi. Dengan dibantu olah para bangsawan dan golongan elit agama petani melakukan pemberontakan terhadap adanya kebudayaan Barat. Tetapi dalam prakteknya para petani justru bersifat pasif dan hanya dijadikan sebagai alat oleh para bangsawan dan elit agama untuk memberontak agar tetap berpegang pada kesultanan atau sistem tradisional. Pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini adalah pendektan sosial dan faktor.

Adapun buku  Perang di Jalan Allah menfokuskan pada gerakan sosial yang menggunakan pendekatan agama dan politik dalam mengahadapi serangan dari Belanda. Perbedaan dua buku ini terletak pada keaktifan rakyat dalam melakukan perang. Jika di pemberontakan petani Banten, para petani dikatan oleh Sartono bersifat pasif, sebab yang mengkoordinir perang tersebut adalah dari kalangan bangsawan, maka di buku Perang di Jalan Allah, rakyat Aceh aktif dan rela berkorban ataupun mati dalam keadaan jihad untuk melakukan Perang Sabil melawan Belanda. Selain itu, perbedaan dari segi pendekatan. Buku pertama menggunakan pendekatan faktor, sementara buku kedua menggunakan pendekatan agama dan politik




0 comments:

Post a Comment

KAJIAN TEMATIK GERAKAN SOSIAL-POLITIK ISLAM DI INDONESIA