BAB I
PENDAHULUAN
Kehidupan Keagamaan pada masing-masing wilayah
terkadang memiliki keunikan-keunikan tersendiri. Artinya, dengan kata lain,
baik itu ritual keagamaan ataupun kehidupan kegamaan masyarakat satu dengan
masyarakat lainnya akan berbeda-beda, tergantung bagaimana masyarakat tersebut
memahami ajaran Islam yang mereka dapatkan. Kehidupan keagamaan yang dimaksud
misalnya praktek sufisme kolot, ritual keagamaan masyarakat, dan pendidikan
keagamaan yang dilakukan oleh kyai terhadap masyarakat.
Dalam makalah ini berusaha menjelaskan atau setidaknya
menggambarkan sebuah potret kehidupan keagamaan di desa Pranggong, Indramayu,
Jawa Barat. Semoga apa yang dituliskan ini akan bermanfaat bagi siapapun yang
membacanya.
2.
Rumusan
Masalah
a.
Bagaimana
pendidikan keagamaan kyai terhadap masyarakatnya?
b.
Seperti
apa ritual keagamaan dan praktek sufisme kolot di desa Pranggong?
BAB II
PEMBAHASAN
POTRET KEAGAMAAN DI DESA PRANGGONG
A.
Transformasi
Keilmuan Kyai-Masyarakat
Pendidikan
keagamaan oleh kyai terhadap masyarakat dilakukan dalam beberapa bentuk.
Seperti sebelum melaksanakan shalat Jum’at di masjid, dari pada waktunya
dikosongkan maka mereka lebih memilih untuk diisi dengan pengajian, ngaji bagi mereka hukumnya wajib,
sedangkan wirid atau sekedar membaca al Qur’an adalah sunnah. Maka dahulukan
yang wajib dari pada sunnah. Selain itu, tidak seluruhnya Muslim di desa
Pranggong ini adalah kaum santri (dalam pengertian: orang yang paham agama),
oleh karenanya pemahaman keagamaan itu penting bagi mereka. Bentuk transformasi
keilmuan yang lain misalnya dengan pengajian rutin untuk ibu-ibu, yang setiap
harinya bergilir dari satu mushola ke mushola lain di desa Pranggong. Misalnya,
hari ini di mushola al Huda dengan kyai-nya KH. Bahrudin, besok di mushola al
Barakah dengan pengajarnya Ust. Muhyidin, besoknya di Masjid Jami al Mustaqim,
begitu seterusnya bergilir.
Kitab yang
menjadi panduan atau pegangan adalah kitab “Ri’ayah
al Himmat” karya KH. Ahmad Rifa’i, seorang kyai asal Kendal pendiri
pesantren Kalisalak. Semua kitab karyanya berisi tiga unsur ajaran Islam, yaitu
tauhid, fiqh, dan tasawuf. Salah satu ajarannya yang paling masyhur adalah
bahwa seorang pemimpin harus alim dan adil. Adil adalah orang yang tidak pernah
melakukan dosa besar dan tidak melanggengkan dosa kecil. Ajaran ini pula yang
membuat Belanda geram terhadap KH Ahmad Rifa’i, karena ajarannya, kebijakan
Belanda berupa perkawinan lewat penghulu banyak ditentang oleh masyarakat
Islam.
Kitab Ri’ayat al-Himmat dipakai oleh
masyarakat di desa Pranggong karena selain konten kitabnya terbilang
kompherensif, mencakup tiga aspek ajaran Islam. Juga bahasa yang digunakan
dalam kitab ini dengan menggunakan nadzoman berbahasa Jawa, sehingga lebih
mudah untuk dipahami oleh masyarakat awam. Hasilnya, hampir seluruh masyarakat
dapat memahami keagamaan yang semestinya. Minimalnya mereka dapat membaca
bacaan shalat dengan benar. Dalam pendidikan yang dilakukan, biasanya terlebih
dahulu ibu-ibu atau bapak-bapak dapat membaca fatihah dan tahiyyat dengan
benar. Karena, itu adalah bacaan yang paling penting dan utama ketika shalat. Sah
dan tidaknya shalat juga salah satunya adalah tergantung dari benar atau
tidaknya bacaan tersebut. Itulah mungkin yang membedakan masyarakat awam di
desa Pranggong dengan masyarakat lainnya, walaupun mereka tidak dapat membaca
dan menulis tetapi dalam bacaan shalat mereka bisa fasih. Selain itu, mereka
juga memahami fiqh dengan cukup baik.
Selain itu,
ajaran tasawuf yang terkandung dalam kitab itu juga sangat baik. Tasawuf
dijelaskan pada kitab Ri’ayah jilid
2, di sana dijelaskan tentang macam-macam dosa. Bahwa dosa itu terbagi menjadi
tiga, yaitu dosa kufur, dosa besar, dan dosa kecil. Di sana dijelaskan perbuatan
apa saja yang tergolong ke dalam macam-macam dosa itu.
B.
Jam’iyyah
Yasin: Salah Satu Ritual Keagamaan Masyarakat
Selain kegiatan
transformasi keilmuan, kehidupan keagamaan yang lain di desa Pranggong adalah
Jam’iyyah Yasin. Jam’iyyah Yasin merupakan kelompok masyarakat yang memiliki
keinginan untuk bersama-sama mendo’akan saudara-saudara ataupun orang tua
mereka yang telah meninggal dunia. Ini dilakukan rutin setiap malam senin,
tempatnya bergilir di rumah ke rumah anggota jam’iyyah.
Isi dari
kegiatan ini antara lain membaca surat Yasin itu sendiri, tahlilan, dan ditutup
dengan pengajian kitab Ri’ayah.
Rata-rata memang sebagian kyai ataupun santri di desa Pranggong adalah lulusan
pesantren Jawa Tengah. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila pengajian kitab
karya KH Ahmad Rifa’i ini menjadi kajian favorit di desa Pranggong. Hal yang
menarik dari budaya masyarakat di sini adalah mereka lebih banyak mengirim
anak-anak mereka ke pesantren dari pada harus melanjutkan sekolah di kampung
mereka sendiri. Sehingga mudah ditemui anak-anak asal desa Pranggong ini
misalnya di pondok pesantren Babakan Cirebon, PonPes Kempek Cirebon, PonPes
Arem-arem Jawa Tengah, dan beberapa pesantren yang lainnya.
Para lulusan
pesantren ini akan pulang menetap di kampung lagi apabila telah menamatkan
pendidikannya di pesantren. Pola kehidupan masyarakat yang demikian ini akan
membentuk sebuah struktur sosial yang didominasi oleh kaum santri. Tidak
mengherankan apabila ketika mengadakan sebuah acara tertentu baik itu hajatan
pernikahan, khitanan ataupun lainnya maka hiburan yang dipakai adalah pengajian
dengan memanggil kyai dari luar desa atau luar kota, menampilkan group
shalawat, dan lainnya. Yang jelas tidak ada masyarakat yang berani menampilkan
hiburan seperti organ dangdut dan semacamnya. Pola masyarakat yang demikian
masih berlangsung di desa Pranggong.
C.
Praktek
Sufisme Kolot
Ajaran tasawuf
yang ketat dari kitab Ahmad Rifa’i ini dijalankan oleh sebagian masyarakat di
desa Pranggong, terutama para kyai.
Mereka sedapat mungkin menghindari dosa sekecil apapun. Mereka juga
sangat berhati-hati dalam menjalani kehidupan di dunia, bahkan ada beberapa
kyai yang sengaja menahan untuk tidak menggunakan teknologi modern karena
dianggap akan menimbulkan mudharat. Atau setidaknya mereka mengatakan bahwa itu
lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya, oleh karena itu lebih baik
ditinggalkan. Satu contoh adalah masalah televisi. Beberapa kyai di desa
Pranggong menahan diri mereka untuk tidak membeli televisi, mereka mengatakan
bahwa TV lebih banyak membawa mudharat, seperti malas beribadah, banyak
tontonan yang negatif, dan alasan yang lainnya. Oleh karena itu, sebaiknya
ditinggalkan. Pola seperti ini bukan saja dilakukan oleh para kyai, namun juga
masyarakat biasa yang setuju dengan argumen itu.
Namun semakin
berkembangnya zaman, dari masa ke masa beberapa kyai mulai memakai televisi di rumah
mereka. Ustadz Syahrodi adalah contohnya, ia pada sekitar tahun 2009 membeli
televisi untuk rumahnya. Ketika beberapa ustadz sudah menggunakan televisi maka
masyarakatpun sebagian ada yang mengikutinya. Tidak sedikit pula kyai dan
ustadz yang tetap mempertahankan ideologinya untuk tidak membeli televisi.
Misalnya kyai Nasihun, Ustadz Kurdi, dan lainnya sampai sekarang lebih memilih
untuk tidak memasang televisi dirumahnya. Golongan yang kedua inilah yang
penulis sebut sebagai praktek sufisme kolot.
0 comments:
Post a Comment